SELUK BELUK HUKUM KARMA
Para pembaca yang budiman, tulisan
ini merupakan rangkuman dari rangkaian pengalaman lahir maupun batin.
Serta hasil asah asih asuh dalam setiap kesempatan diskusi di berbagai
acara, misalnya kumpul-kumpul bersama di manapun berada. Perdebatan
tentang hukum karma sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu.
Antara yang mempercayainya ada, yang meragukannya, yang belum paham
samasekali, maupun yang tidak mempercayai. Sebelum melanjutkan tulisan
berikut, seyogyanya kita berusaha memahami terlebih dahulu apa itu hukum
karma. Dari berbagai keterangan yang ada, setidaknya dapat disimpulkan
bahwa hukum karma atau karma sepadan dengan apa yang di maksud hukum
timbal balik. Dalam falsafah Jawa senada pula
dengan apa yang dimaksud hukum sebab akibat. Dalam literatur Barat,
dikenal dengan istilah hukum kausalitas. Apakah hukum karma yang
sedemikian menghebohkan dunia spiritual, filsafat, ilmu pengetahuan,
sains dan teknologi ini kemudian layak dianggap tidak ada sama sekali ?
Saya tidak ingin tergesa dalam menjawab pertanyaan tersebut, sebelum
saya pribadi dapat membuktikannya sendiri, baik secara langsung, tak
langsung, secara logika maupun pengalaman lahir dan batin.
Secara sederhana hukum karma atau sebab akibat dapat dipahami dengan
logika sederhana pula. Sebagaimana dalam rumus yang mempunyai dalil “ada asap,
berarti ada api”. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan “ada
akibat, tentu ada penyebabnya pula”. Yang jelas di dalam hukum karma
terdapat pola hubungan erat antara penyebab dan akibatnya. Rumus ini
dapat diterapkan untuk memahami setiap kejadian atau peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari kita. Dengan demikian, hukum karma dapat
didefinisikan sebagai hubungan sebab-akibat atas perbuatan yang pernah kita lakukan (sebagai sebab) dan apa yang akan kita alami kemudian (sebagai akibatnya). Dengan demikian di dalam hukum karma terdapat pola hubungan yang bersifat positif
atau baik, maupun negatif atau buruk. Hukum karma yang memiliki pola
sederhana akan mudah dibaca, misalnya setelah kita berbuat jahat atau
membuat masalah, selanjutnya kita akan tertimpa masalah atau balik
dijahati orang lainnya. Misalnya, kita melakukan penganiayaan terhadap
seseorang, maka akibatnya kita akan dimusuhi keluarganya, teman-teman
dari seorang yang dianiaya tadi. Bahkan kelak anak turun seseorang yang
dianiaya akan memusuhi anak turun kita sendiri. Sebaliknya, setelah
kita berbuat kebaikan,
selanjutnya kita akan menerima kebaikan pula. Kita menolong seseorang,
maka ia atau keluarga yang kita tolong suatu waktu ingin gantian
menolong kita di saat kita mendapat kesulitan. Bahkan anak turun yang
kita tolong akan mengenang kebaikan yang pernah kita lakukan, dan ingin
sekali mereka membalas budi-kebaik kita di waktu selanjutnya. Pola
hubungan dalam hukum karma atau hukum sebab-akibat dapat kita uji coba
pula keberadaannya. Misalnya, para pembaca yang budiman gemar sekali
membantu dan menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Maka,
Anda akan selalu mendapat kemudahan dalam setiap urusan. Sekalipun
pernah terpentok saat-saat di mana Anda merasa tidak ada lagi jalan
keluar, di saat Anda betul-betul sedang dalam keadaan yang sangat
genting dan darurat pada akhirnya datang lah “the last minute man”
atau “dewa penolong”. Jika anda mereview perjalanan hidup anda ke
belakang, disadari atau tidak Anda pernah berperan menjadi “the last minute man” atau berperan sebagai “dewa penolong” disaat seseorang sedang dalam keputus-asaan.
“MISSING LINK” dalam KARMA
Dibutuhkan kecermatan dalam membaca “benang” yang menghubungkan
antara suatu kejadian (sebagai akibat) dari kejadian sebelumnya
(penyebab). Terkadang dalam hukum karma terdapat pola hubungan
sebab-akibat yang sangat sulit dilacak bagaimana pola hubungan itu
terjalin. Seolah tak ada hubungannya sama sekali. Sebagai contoh,
seseorang tewas akibat bencana alam, misalnya diterjang
gelombang tsunami. Jika tewasnya seseorang itu dikaitkan dengan hukum
karma, tentu akan sulit sekali dilacak. Benarkah seseorang yang
diterjang tsunami hingga tewas sedang menjalani karma? Jika tanpa
pemahaman yang mendalam pada saat kita menelusuri pola-pola hubungan
dalam hukum karma, kesimpulan yang mengkaitkan di antara dua kejadian
tersebut (bencana alam dengan korban bencana) menjadi terasa janggal,
seolah terlalu memaksakan diri menghubung-hubungkan dua hal yang tak ada
hubungannya sama sekali. Seolah terdapat missing link, atau mata rantai hubungan sebab akibat yang terputus alias tak nyambung.
Hal itu disebabkan adanya pola hubungan yang sangat rumit. Yang
membuat kemampuan untuk memahami menjadi terbatas. Dalam terminologi
Jawa disebut,”datan bisa hanggayuh kawicaksananing gusti”. Tak
mampu memahami kebijaksanaan alam semesta. Dua hal itu tak cukup
dijabarkan melalui pola hubungan yang bersifat sederhana dan matematis.
Misalnya ia tewas gara-gara terlelap dalam tidur, sehingga tidak dapat
menyelamatkan diri saat terjadi tsunami. Jawaban seperti itu bersifat
klise, hanya mengena pada “kulit” luarnya saja alias tidak menyentuh
hal-hal yang esensial dan prinsipiil. Benar tetapi tidak tepat.
Walau sulit, kiranya akan lebih bermanfaat bila kita berusaha menjawab
pola hubungan yang jauh lebih mendalam, misalnya dengan menjawab
pertanyaan, “kenapa ia tewas? Jawabnya tentu bukan jawaban sederhana, misalnya jawaban yang mengatakan,”oh, semua itu sudah kehendak tuhan”. Ini masih merupakan jawaban klise
juga, konsepnya masih sangat lemah. Bagaimana kita tahu persis jika
tuhan berkehendak atas tewasnya seseorang itu dengan cara dibuat
tsunami? Tentu saja hal itu hanyalah kira-kira atau tindakan berusaha
mengambil kesimpulan secara generalisir, gebyah uyah.
Selanjutnya tak ada lagi pelajaran hidup yang sangat berharga yang dapat
digali. Orang menjadi hilang semangat berusaha (ikhtiar), yang terjadi
adalah bukan kepasrahan melainkan sikap fatalistis, sikap tanpa mau
berfikir, berusaha, melainkan sikap apatis menghadapi segala sesuatu.
Yang rugi kita sendiri.
MENGUJI “MISSING LINK”
Dalam hukum karma, banyak pula terdapat pola hubungan yang sangat
kompleks dan memiliki mata rantai sangat panjang serta memiliki rentang
waktu sangat panjang pula. Marilah kita rentangkan logika dan pola pikir
kita seluas samudra tanpa tepian. Perlu kita catat, bahwa suatu sebab tidak selalu memiliki konsekuensi akibat yang terjadi dalam jeda waktu yang dapat dihitung secara pasti.
Antara sebab dengan akibat tidak selalu terjadi dalam siklus yang
dapat dibilang secara matematis. Jika dijabarkan akan terurai pola
hubungan begitu kompleks, disebabkan oleh multifactor.
Pernahkah Anda berfikir, jika seseorang yang tewas akibat bencana alam
karena ia sedang menjalani akibat dari segala perbuatan dan tindakan di
masa lalunya ? Dalam falsafah Jawa disebut sebagai tidakan “Ngunduh wohing pakarti”. Dalam tradisi spiritual Budhis disebut sebagai karmayoga, dalam tradisi spiritual Islam disebutkan adanya khisab
(hari hisab). Walau ternyata terjadinya khisab tidak musti menunggu
setelah ajal atau setelah datang “hari akhir”. Kita semua bisa
menyaksikan, pada kenyataannya “hari khisab” dapat terjadi setiap hari.
Apa yang Anda alami hari ini, merupakan “buah” atas apa yang anda
lakukan beberapa saat lalu, kemarin, pekan lalu, bulan lalu, tahun yang
lalu, atau windu yang lalu. Karma jika didefinisikan sebagai hukum sebab
akibat , berarti pula dalam hukum karma tercakup dua makna, yakni
sebagai “buah”, atau hasil yang baik, bisa juga berupa akibat buruk
(yang diartikan sebagai hukuman). Dalam tradisi samawiah, atau agama
rumpun Abrahamisme, disebut sebagai pahala (kebaikan sebagai sebab) dan
surga (prestasi sebagai akibat), atau dosa (keburukan sebagai sebab) dan
neraka (keburukan sebagai akibat/hukuman). Lantas dari mana datangnya
ganjaran baik dan ganjaran buruk (hukuman) tersebut ? Hukuman maupun hasil baik, bukan datang dari orang lain, melainkan dari diri kita sendiri.
Maksudnya, timbulnya akibat yang kita alami saat ini karena atas
perbuatan yang telah kita lakukan sebelumnya. Untuk mempermudah
pemahaman, saya kemukakan contoh, seorang korupor divonis penjara 7
tahun lamanya. Pertanyaannya, vonis tersebut datang dari mana? Apakah
datang dari tuhan, atau dari lembaga legislatif yang membuat perundang-undangan ? Atau berasal dari lembaga yudikatif atau
hakim suatu perkara? Ataukah vonis itu diberikan oleh pihak-pihak
lainnya di luar ketiganya? Jawabanya TIDAK SEMUANYA! Jika kita cermati,
hukuman atau vonis itu datang tidak lain dari diri kita sendiri, yakni
atas perbuatan yang kita lakukan sendiri. Hakim hanya sebatas
melaksanakan rumus-rumus yang berlaku di dalam hukum alam. Hal itu
sepadan dengan bekerjanya mekanisme hukum di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana. Sekiranya boleh dikatakan, karma atau hukuman bukan
lagi datang dari “tuhan” yang berperan sebagai pembuat rumus dan hukum
alam secara langsung pada saat kejadian, karena tuhan (hukum alam)
sekedar membentuk rumus-rumusnya secara baku. Selanjutnya rumus-rumus
itulah yang akan bekerja dengan sendirinya melalui mekanisme alam yang
begitu jujur. Sehingga ia akan bekerja secara tepat dan akurat, serta
tak bisa “disuap”. Dapat dibahasakan bahwa hukum alam akan bekerja
dengan kadar maha jujur, maha adil, tak pernah menyisakan ketidakadilan
dan ketidakjujuran walau hanya sebutir biji sawi. Sebagal akibat tentu
ada penyebabnya secara esensial. Bencana alam merupakan salah satu
mekanisme hukum alam yang melakukan seleksi sangat ketat. Kita mudah
menemukan orang-orang selamat dari bencana alam bagaikan keluar dari
lobang jarum. Begitu pula para korban bencana alam yang luka berat,
cacat, maupun tewas. Semua itu bukan lah peristiwa KEBETULAN saja. Bisa
jadi para korban sedang menjalani karma-yoga, menebus kesalahan, sementara yang selamat sedang “menuai buah” atas apa yang pernah ia tanam jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan menuai buah kebaikan yang telah ditanam oleh para leluhurnya di masa lalu.